Kelahiran Puisi

Akhir-akhir ini keberadaan puisi berperan cukup penting dalam hidup saya. Khususnya dalam masalah percintaan saya.

Puisi adalah ungkapan perasaan hati saya. Perasaan sedih lebih dominan disana. Saya selalu mengungkapkan segala rasa lewat bait dalam puisi yang saya buat.

Saya tidak terlahir dengan kecintaan terhadap puisi. Semua berawal karena hal-hal yang menyedihkan. Putus cinta dan patah hati.

Saya pernah mencintai seseorang dengan sangat. Saya punya banyak mimpi indah dengannya. Kepala saya dipenuhi dengan banyaknya rangkaian kejadian masa depan yang belum nyata.

Memang salah sebenarnya untuk kita memiliki angan yang mendalam atau menjulang tinggi tanpa terlihat puncaknya. Salah jika kita tidak memikirkan kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Atau pada saat itu saya lebih memilih untuk menutupnya. Saya selalu berusaha menutup kemungkinan buruk yang ada. Segala hal yang indah adalah yang saya pikirkan saja, pada saat itu.

Pada akhirnya manusia tidak memiliki kuasa atas segala harapannya. Kita boleh berusaha, boleh sekali. Tapi lagi-lagi hasil juga boleh bertentangan dengan usaha kita.

Kisah cinta saya dengan perempuan itu tak berjalan dengan mulus. Kami pun putus.

Saya sangat sulit menerima kenyataan itu. Tidak pernah terbayangkan di kepala saya kalau kisah saya dengannya hanya sebentar saja.

Saya selalu berpikir, semua akan indah sampai selamanya.

Saya selalu lupa akan kemungkinan-kemungkinan buruk itu bisa terjadi kapan saja. Ia tak pernah meminta saya untuk bersiap. Tak memberi aba-aba.

Saya berusaha meyakinkannya bahwa barangkali ini semua bisa diperbaiki. Keputusannya telah bulat. Ia tak sedang main-main.

Saya yang pada saat itu masih egois berpikir bahwa apa selama ini ia tak betul-betul mencintai saya. Apa, apa, dan apa. Saya bertanya-tanya.

Saat itu adalah momen patah hati terberat bagi saya.

Mungkin sebagian orang akan menganggap saya terlalu lebay. Berlebihan. Tapi setiap orang memiliki perasaan dan menyikapi perasaannya dengan cara yang berbeda-beda.

Dan beginilah saya.

Satu hal yang saya syukuri adalah saya tidak melampiaskan segala kesedihan dan kekecewaan kepada hal yang buruk.

Ditengah kesedihan dan ketidakmampuan saya untuk bercerita kepada orang lain, saya mulai berpuisi.

Puisi saya selalu memiliki hal-hal suram di dalamnya. Minim kebahagiaan. Karena memang tak jarang saya menulis puisi dengan air mata yang mengalir di pipi.

Sampai saat ini tercatat setidaknya sudah seratus lebih puisi yang saya buat mengenai satu nama. 

Saya menggambarkan kekecewaan saya dalam puisi yang saya buat. Terkadang juga saya mencoba melakukan reka ulang kenangan-kenangan saya dengannya lewat puisi.

Puisi tidak memiliki telinga, tapi saya selalu nyaman untuk bercerita. Saya membayangkan puisi adalah sahabat terbaik atau adik yang selalu mendukung kakaknya.

Saya sedih, saya patah hati. Tapi dengan puisi, saya percaya bahwa saya tidaklah sendiri.

Saya jadi teringat dengan salah satu puisi karya penyair favorit saya yaitu Aan Mansyur. Puisi tersebut merupakan salah satu puisi yang terdapat di buku Tidak Ada New York Hari ini, dengan judul Puisi Tidak Menyelamatkan Apapun.

g

Puisi terlihat seperti hal remeh dan mungkin ada sebagian orang yang beranggapan bahwa laki-laki tidak seharusnya menye-menye dan menulis puisi. Tapi bagi saya, berpuisi adalah menciptakan diri saya yang lainnya.

Saya bisa bebas bercerita tanpa takut di hadapan diri saya sendiri. Puisi seperti itu kira-kira.

Setelahnya saya pun mencoba untuk membagikan puisi-puisi yang sudah saya tulis ke akun Instagram saya. Saya tidak merasa kalau puisi saya bagus, akan tetapi mungkin akan ada yang bisa menikmatinya.

Saya ingin berbagi. Syukur-syukur ada beberapa orang yang juga dapat terwakilkan perasaannya lewat puisi tersebut.

Menuju Rumahmu 

Hatiku adalah benda yang mudah meledak

dan angin malam tak henti mencekik paru-paruku.

Jantung bisa tiba-tiba berhenti berdetak

dalam perjalanan menuju rumahmu.

Kepalaku memikirkan segala yang indah,

sesuatu seperti perhiasan

atau kue donat manis yang mengenyangkan.

 

Dalam perjalanan menuju rumahmu

aku adalah burung kecil yang lapar di tengah malam.

Aku ragu-ragu, aku takut kegelepan.

Menunggu pagi atau terbang tanpa kepastian,

tubuhku adalah tanda tanya besar

yang memeluk ketiadaan.

 

Aku mencintaimu, sebuah kata

yang tak bisa lagi kau kecap di lidahmu

dan bibirmu barangkali.

Aku ingin meminjamkanmu lidahku

agar kau bisa mengucap lagi kata cinta kepadaku,

biar aku membisu dan aku masih bisa memelukmu.

Tapi kamu adalah kata selamat tinggal

dan aku anak kecil yang tak pandai berbahasa.

Aku benci kata-kata, aku benci kata-kata.

Dalam perjalanan menuju rumahmu

aku takut menemukan tiada

atau dirimu berjalan menuju rumah yang lainnya.

 

Itu adalah salah satu puisi yang saya buat. Saya menulis puisi itu ketika sedang dilanda keraguan untuk kembali mengunjungi perempuan itu atau tidak. Saya yang saat itu sedang dirundung dilemma. Ketakutan demi ketakutan menyelimuti diri saya.

Dan ya, tidak ada hal lain yang bisa saya lakukan selain membuat sebuah puisi. Begitulah kira-kira proses dari kelahiran puisi dalam hidup saya.

(Bekasi, 19 Maret 2024)

Komentar

Postingan Populer